pagi itu berkutat dengan tumpukan manik-manik bertuliskan huruf dan kerikil berwarna warni di atas meja setinggi betis orang dewasa. Dengan posisi duduk di kursi kecil mengelilingi meja persegi bersama para siswa, ia pun mengisi pembelajaran pengenalan huruf dan angka.
Leila merupakan salah satu guru kelas di TK Cikal Cahaya, kecamatan Sukaraja, kabupaten Bogor. Setiap hari kerja, diisinya dengan memutar otak, bagaimana cara agar dapat mengajarkan peserta didik di Cikal Cahaya melalui metode kreatif, menyenangkan, dan menggunakan media belajar sederhana.
"Kami sedang ajarkan mengenal angka dan menghitung ringan menggunakan media yang ada di sekitar lingkungan sekolah, seperti daun, kerikil, juga manik-manik ini. Untuk menghindari bosan juga ya," kata Leila sambil menunjuk tumpukan media belajar di atas meja, ketika ditemui Medcom.id di TK Cikal Cahaya, Senin, 15 Mei 2023.
Terlebih Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim pun kembali menegaskan melalui Merdeka Belajar episode ke-24-nya, yakni "Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan", bahwa miskonsepsi tentang calistung pada PAUD dan SD/MI kelas awal harus segera diakhiri.
Akhiri Miskonsepsi Calistung
Nadiem dalam peluncuran MB episode ke-24 tersebut juga menyampaikan, saat ini kemampuan yang dibangun pada anak di PAUD masih sangat berfokus pada calistung. âKemampuan calistung yang sering dibangun secara instan masih dianggap sebagai satu-satunya bukti keberhasilan belajar, bahkan tes calistung masih diterapkan sebagai syarat penerimaan peserta didik baru (PPDB) SD/MI/sederajat,â ujar Nadiem.
Untuk mengakhiri miskonsepsi tersebut, Nadiem menyampaikan empat fokus yang perlu dilakukan dalam pembelajaran. Pertama, transisi PAUD ke SD perlu berjalan dengan mulus.
Proses belajar mengajar di PAUD dan SD/MI/sederajat kelas awal harus selaras dan berkesinambungan. Kedua, setiap anak memiliki hak untuk dibina agar kemampuan yang diperoleh tidak hanya kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan fondasi yang holistik.
âBukan hanya kognitif, anak-anak juga berhak mendapatkan kemampuan holistik seperti kematangan emosi, kemandirian, kemampuan berinteraksi, dan lainnya,â imbuh Nadiem.
Fokus ketiga adalah terkait kemampuan dasar literasi dan numerasi harus dibangun mulai dari PAUD secara bertahap dan dengan cara yang menyenangkan. Keempat, âsiap sekolahâ merupakan proses yang perlu dihargai oleh satuan pendidikan dan orang tua yang bijak.
Setiap anak memiliki kemampuan, karakter, dan kesiapan masing-masing saat memasuki jenjang SD, sehingga tidak dapat disamaratakan dengan standar atau label-label tertentu.
âSiap sekolah adalah proses, bukan hasil. Bukan sekadar pemberian label antara anak yang sudah siap atau belum siap sekolah,â tegas Nadiem kala itu.
Guru PAUD dan TK pun diminta untuk menempuh jalan sedikit memutar untuk menggunakan metode-metode belajar kreatif yang dapat diterapkan untuk menstimulasi masa-masa praliterasi dan pra membaca.
Leila mencontohkan, untuk kelas A biasanya diajak untuk mengenal huruf dan kata pendek. "Pengenalan huru dan kata pendek itu pun kadang diulang-ulang. Sederhana saja, misalkan lewat buah-buahan juga lagu," ujar Leila.
Menyenangkan dan Bertahap
Kepala Sekolah TK Cikal Cahaya, Riyanti Vitriyana mengatakan, calistung sebenarnya ada dalam kehidupan sehari-hari. "Jadi apapun misalnya kita lagi belajar tentang kendaraan saja itu ada calistungnya," kata Riyanti.
Namun menurut Riyanti, memperkenalkan calistung di jenjang TK pun tidak boleh diterapkan dengan paksaan, bahkan harus menyenangkan dan bertahap. Misalnya, dimulai dengan mengenalkan angka, mencari huruf, hingga memasangkan huruf sambil bermain.
Kemudian Cikal Cahaya juga menerapkan pembelajaran berbasis buku yang diterapkan di kelas sebagai bagian dari gerakan literasi. "Jadi meski anak belum bisa baca tapi bisa diajarkan bahwa isi buku ini pembelajaran yang seru loh. dengan pembelajaran berbasis buku ini membantu guru merancang pembelajaran menyenangkan," terangnya.
Kegiatan praliterasi di dalam kelas pun jadi menyenangkan. Siswa diajak membaca bersama, yaitu dengan cara mendengarkan guru menceritakan isi buku.
Kemudian siswa mendengarkan, bahkan mempraktikkan tokoh-tokoh di dalam buku. "Sehingga dalam satu hari tidak terasa bahwa mereka telah mempraktikkan tokoh buku ini," kata Riyanti.
Menurut Riyanti, makna tidak boleh mengajarkan calistung di PAUD dan TK itu sebenarnya bukan berarti tidak boleh sama sekali diajarkan. Tapi bagaimana kreativitas guru untuk tetap menstimulasi agar anak dapat melek aksara dan numerasi dasar.
Riyanti mengatakan, keberhasilan menerapkan Transisi PAUD ke Sekolah Dasar yang Menyenangkan ini pun membutuhkan pemahaman dan dukungan penuh orang tua. Sebab masih banyak pola pikir orang tua yang memasukkan anaknya ke PAUD dan TK dengan harapan setelah lulus sudah bisa membaca dan berhitung.
"Saya selalu mengatakan saat orang tua murid ingin menyekolahkan anaknya di Cikal Cahaya. Ibu ini mencari sekolah yang untuk memenuhi kebutuhan anak atau kebutuhan saya, atau kebutuhan Bapak dan Ibu?" terang Riyanti.
Ia selalu bersikap tegas, jika orang melihat kebutuhan anak, maka harus mau bersama-sama untuk tidak tergoda memaksakan anak belajar calistung. "Saya berusaha kerja sama dengan orang tua untuk mengenyampingkan dulu keinginan orang tua, kalau anaknya harus bisa membaca menulis dan berhitung. Kalau mau anak bisa membaca dalam beberapa bulan, maka silakan tempatnya bukan di Cikal Cahaya," tegas Riyanti.
Sebab saat ini, kata Riyanti, ia melihat fenomena tingkat literasi masyarakat Indonesia rendah bukan karena tidak bisa membaca, namun karena tidak memahami isi bacaan. "Orang bisa baca tapi tidak paham apa isi bacaannya, jadi itu karena literasinya kurang, jadi bukan karena enggak bisa baca. Meski begitu, sekolah juga tetap memfasilitasi anak-anak yang memang brilian, sudah bisa membaca sejak PAUD atau SD," tegasnya.
Ia pun meyakini, jika anak mendapatkan stimulasi literasi dan numerasi yang benar selama di masa PAUD dan TK, maka nantinya anak akan dapat membaca dan terliterasi dengan baik, ungkapnya. "Jadi yang boleh dilakukan dari usia dini sekali bukan membaca ya tapi menstimulasi, jadi orang tua harus memilih mana yang lebih penting bisa membaca atau bisa memahami bacaan," pungkas Riyanti.